Kalau ada hal yang tak ingin kulewatkan dari pengajaranku
kepada anak-anakku kelak, salah satunya adalah tentang bagaimana sulitnya
“mencari uang dari hasil kerja keras sendiri”. Learning by doing. Mereka harus terjun langsung dan betul-betul
merasakan jerih payah itu. Agar mereka menghargai apa yang tersaji di hadapan dan
apa yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan mereka. Bukan hanya sekedar
mendengar nasihatku tentang berhemat dan bijak menggunakan uang. Tetapi mereka
harus mencarinya dan mengumpulkannya dengan usaha mereka sendiri.
Dulu saat aku masih duduk di bangku SMA, aku pernah
berjualan bunga wisuda bersama dua orang temanku. Berhari-hari mereka merangkai
bunga. Aku membantu penjualannya saja.
Pada hari itu kami datang pagi-pagi. Berkeliling GSG
Universitas Lampung bersama dengan puluhan penjual bunga lain. Lelah. Penat.
Itulah pengalaman pertamaku berjualan yang masih terkenang hingga saat ini.
Berjam-jam kepanasan bahkan berdesak-desakan. Apa yang kupelajari saat itu?
Bahwa mencari uang itu tidak mudah. Dan bahwa ternyata rezeki itu tidak akan
tertukar. Dari sekian banyak penjual yang dagangannya hampir serupa, tetap ada
juga yang membeli dagangan kami. Bahagianya..
Uang hasil keuntungan berjualan bunga itu kuhabiskan begitu
saja di meja mie ayam dan bakso Mas Yon.
Sayang? Awalnya iya, tapi seterusnya biasa saja, karena teringat persediaan uang dari orang tua masih aman. Setelah dipikir-pikir sekarang, harusnya aku dulu belajar cari uang lebih sering lagi ya. Supaya betul-betul tumbuh rasa ‘menghargai proses’ dan menggunakan uang yang telah didapat dengan sebaik-baiknya. Tentang waktunya, tak boleh sampai mengganggu aktivitas utama. Disitulah justru aku harus belajar manajemen waktu. Hitung-hitung latihan multi tasking.
Sayang? Awalnya iya, tapi seterusnya biasa saja, karena teringat persediaan uang dari orang tua masih aman. Setelah dipikir-pikir sekarang, harusnya aku dulu belajar cari uang lebih sering lagi ya. Supaya betul-betul tumbuh rasa ‘menghargai proses’ dan menggunakan uang yang telah didapat dengan sebaik-baiknya. Tentang waktunya, tak boleh sampai mengganggu aktivitas utama. Disitulah justru aku harus belajar manajemen waktu. Hitung-hitung latihan multi tasking.
Mungkin akan ada yang tidak setuju lalu bilang, “Jaman sekarang kok ngajarin anak susah cari
duit.. ajarin anak berpikiran maju dong.. cari uang itu mudah.. kalau kita
punya ilmu.. yang cari duit susah itu orang yang gak punya ilmu..”
Hehe. Bukan ‘susah’ nya yang mau aku tekankan pada
anak-anakku kelak. Tapi ‘proses’nya yang
harus betul-betul mereka pahami. Terlepas nanti mereka mendapatkan rezeki
dengan jalan yang ‘mudah’ atau ‘sulit’, tentu akan selalu ada proses yang harus
mereka lewati. Sabar dalam berproses itu yang belajarnya gak bisa instan. Dan saat
mereka mendapatkan kesempatan melalui jalan yang ‘mudah’, ingatlah bahwa di
luar sana ada banyak orang yang harus melalui jalan ‘sulit’ untuk mendapatkan
hal serupa. Learning by doing itu
semoga bisa menumbuhkan rasa empati yang bukan sekedar simpati. Karena mereka
pun pernah berada di posisi yang sama.
Anak-anak akan belajar tentang itu, lebih awal daripada
Ibunya yang baru belajar setelah menikah.
Iya, setelah suamiku jadi penjual ubi panggang di kantornya.
Hasilnya memang tak banyak, bahkan tak seimbang dengan permintaan jajanku di
akhir pekan. Namun rupanya belajar itu memang tak sehari dua hari langsung
jadi.
Jualan ubi yang awalnya iseng-iseng itu justru jadi
pembelajaran paling berkesan untukku, selama hampir dua puluh tujuh tahun aku
hidup. Dari situ aku betul-betul merasakan prosesnya. Ikut memilih ubi di
pasar, membersihkannya, menjemurnya, memanggangnya bergantian di oven mini
kepunyaan kami, menimbangnya dan membungkusnya sebelum diantarkan kepada
pemesan. Sebuah proses yang bagiku sudah cukup panjang. Dengan hasil yang
sebenarnya tak seberapa.
Suamiku bilang saat ini bukan hasilnya yang kita
perhitungkan. Tapi kemampuan kita melihat peluang, itu yang harus kita latih.
Dan jualan ubi panggang ini merupakan salah satunya. Dari sini bisa jadi kita melihat
peluang-peluang lain yang bisa lebih kita perhitungkan matang-matang nantinya. Anggap aja ini latihan.
Lama kelamaan mulai terbentuk pola ‘sayang’ di kepalaku.
Sayang kalau menghambur-hamburkan uang. Padahal pemasukan utama kami jelas bukan
dari berjualan ubi panggang, tapi dari gaji bulanan kantor yang diterima oleh
suami. Bayangkan bagaimana perasaan seorang petani, yang bahkan harus menunggu
berbulan-bulan untuk menikmati hasil panen. Atau bagaimana perasaan anak kecil
penjual pempek yang harus berjalan berkilo-kilo meter jauhnya setiap hari untuk
bisa membayar uang sekolahnya. Dan empati yang kurasakan saat ini tentu lebih
dalam, karena aku melatihnya dengan berjualan pula. Dan mungkin akan menjadi
lebih dalam lagi jika suatu saat berjualan itu menjadi penghasilan utama
keluarga kami, misalnya.
Menjemur uang. Begitulah aku menyebut calon-calon ubi
panggang yang kujemur di halaman samping rumah ini. Ubi-ubi yang mengajarkanku
makna ‘berproses’. Kelak temani anak-anakku belajar juga ya..
Ubi panggang hanya sekedar contoh. Bisa jadi mereka belajar
dari banyak hal lain, yang penting anak-anak merasakan proses learning by doing itu.
Karena walaupun kalian adalah prioritas utama kami, Nak.. akan
tetap ada hal-hal yang tak selalu bisa kami turuti.
Karena walaupun kalian adalah prioritas utama kami, Nak..
cara kami memprioritaskan kalian tak harus sama dengan cara orang lain
memprioritaskan anak-anak mereka.
Dan karena walaupun kalian adalah prioritas kami, Nak.. kami
tetap harus mendampingi kalian melewati ‘proses’ itu.. mungkin hasilnya tidak
akan langsung kelihatan. Tapi semoga bermanfaat untuk bekal di masa depan..
Justru karena kami sayang.. dan semoga kelak kalian akan mengerti..
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah mampir. Means a lot to me :) Silahkan komentar yang sopan dan mohon jangan sertakan link hidup ya. Jika ingin berdiskusi atau butuh jawaban cepat, bisa menghubungi saya via pesan instagram di akun @dwiseptiani.dwi